Kasus Pengadaan Barang dan Jasa Pada Komisi Pemilihan Umum dalam
Pengadaan Tinta untuk keperluan Pemilu.
By : Ery Octora
Kasus mengenai pengadaan barang dan jasa telah menyeret nama besar dalam panitia pengadaan barang dan jasa dari Komisi Pemilihan Umum. Misalnya kasus yang paling santer terdengar adalah mengenai ketua panitia pengadaan tinta dari komisi pemulihan umum yakni Rusadi Kantaprawira. Dalam hal ini Rusadi Kantaprawira selaku ketua pengadaan tinta pemilu ini menyatakan akan menggunakan tinta yang berasal dari
Dalam Jakarta ( ANTARA News ) menyebutkan bahwa, Rusadi juga menyatakan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan tinggi maupun kasasi menyebutkan berdasarkan fakta persidangan dirinya tidak terbukti menikmati uang negara sesuai dengan dakwaan penuntut umum. "Kalau dikatakan yang diperkaya adalah rekanan, maka hal tersebut sangat tidak logis dan tidak adil, karena pengusaha mana pun juga pasti untuk mendapatkan keuntungan," kata Januardi. Ia menyebutkan fakta persidangan membuktikan bahwa keuntungan para perusahaan rekanan sebesar 10 hingga 15 persen secara bisnis dan akuntansi masih dalam batas kewajaran. Januardi menambahkan, proses penunjukan langsung rekanan dengan sistem" multi winner"(beberapa pemenang ) dan perata-rataan harga tinta merupakan bentuk penyelesaian yang adil dan bijak mengingat tidak ada satu pun perusahaan tinta yang mampu menyediakan seluruh kebutuhan tinta pemilu dalam waktu singkat. Tindakan itu, lanjut dia, dilakukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan Pemilu. "Sehingga, kalaupun tindakan tersebut dikatakan melawan hukum secara formal, hal tersebut tetap saja tidak dapat dipidana karena ada dasar pembenar atau alasan pemaaf," ujarnya. Ia juga menyatakan, dalam perkara pengadaan tinta pemilu legislatif 2004, keuangan negara tidak dirugikan karena harga tinta tersebut di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta di bawah pagu anggaran dari Departemen Keuangan. "Berdasarkan hal tersebut, maka unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, serta unsur dapat merugikan keuangan negara tidak terbukti," ujar Januardi. Ia menambahkan, apabila salah satu unsur pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Rusadi itu tidak terbukti, maka dakwaan itu harus dinyatakan tidak terbukti. "Maka, majelis hakim agung pada tingkat kasasi, telah jelas melakukan kekhilafan dan kekeliruannya yang nyata dalam putusannya yang menghukum terdakwa," ujar Januardi.
Pada Seminar Praktek Pengadaan barang dan jasa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Rusadi Memaparkan bahwa adanya tindakan penunjukan langsung dalam tender penyedia barang dalam pemilihan umum tahun 2004 adalah karena adanya waktu yang terbatas agar pemilihan umum berjalan pada waktunya. Dan adanya 4 pemenang tender dalam pengadaan barang dan jasa adalah karena tidak ada calon pemasok yang sanggup secara sendirian melakukan pengadaan tinta sekitar 1,2 juta botol dan dapat mendistribusikannya langsung ke tempat-tempat pemilihan umum di pelosok daerah dalam waktu yang terbatas. Oleh karena itu pihaknya memutuskan untuk menetapkan 4 pemenang tender pengedia tinta pemilui ini/ menunjuk empat perusahaan pemasok dari tiga produsen di luar negeri. Untuk masalah harga tinta tersebut sesungguhnya sudah tidak ada masalah karena seperti telah dijelaskan bahwa keuangan Negara tidak dirugikan karena harga tinta tersebut di bawah Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta di bawah pagu anggaran dari Departemen Keuangan. Kalau dikatakan yang diperkaya adalah rekanan, maka hal tersebut sangat tidak logis dan tidak adil, karena fakta persidangan membuktikan bahwa keuntungan para perusahaan rekanan sebesar 10 hingga 15 persen secara bisnis dan akuntansi masih dalam batas kewajaran. Dan mengenai impor tinta dari India adalah bahawa di Indonesia sendiri belum ada perusahaan yang dapat membuat tinta yang bisa bertahan selama 3-7 hari apalagi memproduksi 1,2 juta botol tinta yang setiap botolny berisi 30 cc dalam waktu singkat dan memdesak serta sudah siap dalam mendistribusikannya ke seluruh tempat-tempat Pemilu di pelosok Indonesia.
Di lain pihak permasalahan kasus penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 adalah dalam Paper yang dibuat oleh Rusadi Kantaprawira selaku mantan Ketua Panitia Pengadaan Tinta Pada Komisi pemilihan Umum yang telah dijatuhi hukuman empat tahun penjara ini menyatakan bahwa kegiatan pengadaan untuk persiapan dan pelaksanaan serangkaian Pemilu di Tahun 2004 tersebut, terutama mulai berlangsung sejak pertengahan tahun 2003. Dengan demikian sebagian pengadaan dilakukan atas dasar Keppres No. 18 Tahun 2000, dan kemudian sebagian besar lainnya dilakukan atas dasar keppres 80 Tahun 2003 tersebut yang relative baru diundangkan yakni pada tanggal 30 November 2003, bahkan belum sempat disosialisasikan secara luas. Dengan demikian, menjelang pekerjaan-pekerjaan besar mulai memuncak, para petugas pengadaan yang dibentuk Pleno, termasuk Anggota-anggota KPU yang ditugasi Pleno, harus mengikuti pelatihan berkelompok-kelompok, berhari-hari dan berjam-jam dari instansi penyelenggara penataran. Perlu di catat bahwa ternya para “instruktur”-nya pun masih pada bingung. Mereka terdiri dari unsure –unsur Bappenas, BPK, BPKP, Depkeu, dll. Keturutsertaan aktif dalam “penataran” tersebut secara formal dibuktikan dengan sertifikat, namun pemecahan studi kasus belum optimal, karena masalah penyelenggaraan pekerjaan pemilihan umum yang raksasa, waktu penyelenggaraannya sudah pasti tak dapat bergeser itu belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagaimana diketahui, dalam Pemilu 1999 itu belum ada Keppres No. 18 Tahun 2000 yang berkenaan dengan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.
Dewasa ini karena semua perkara yang berkenaan dengan Keppres No.80 Tahun 2003 ini selalu diajukan ke Pengadilan Tipikor, maka terdapat kegamangan bahkan penolakan akan penugasan dari birokrasi untuk ditunjuk sebagai pimpro. Sebagai akibat dari penolakan ini, maka anggaran yang sudah disediakan baik di pusat maupun di daerah-daerah tak terserap dengan baik ( hanya sekitar 30% ). Dana yang tersedia dalam anggaran “diparkir” dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini dengan sendirinya menyebabkan berbagai pembangunan untuk kepentingan umum terbengkalai bahkan tak terwujud.
Selain itu adanya ketidakpastian hukum yang jelas membuat orang enggan untung menjadi Panitia Komisi Pemilihan Umum lagi. Tentunya karena resiko yang tinggi apalagi tidak jelasnya paying hukum bagi mereka sebagai pelindung apabila terjadi ketidakjelasan dalam proses pelaksanaan Pemilihan Umum. Selain itu birikrasi yang rumit tanpa adanya hukum yang jelas dalam mengatur Proses pelaksanaan Pemilihan Umum ini yang menyangkut tender penyedia barang dan jasa Instansi Pemerintah dapat mengakibatkan Para pengusaha menjadi tidak berminat untuk ikut serta dalam tender pengadaan barang dan jasa di Instansi Pemerintah karena memiliki resiko yang terlalu tinggi dan kembali, tidak memiliki payung hukum yang kuat dan jelas dalam menerangkan mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.
Oleh karena itu diharapkan pemerintah dapat segera menbuat suatu peraturan yang rinci mengenai Pengadaan Barang dan Jasa selengkap-lengkapnya. Dan menbuat paying hokum yang jelas bagi para pelaku atau pejabat yang bersangkutan pada pelaksanaan Pengadaan barang dan jasa ini. Dibuat lembaga atau apapun itu sebagai pengawas KPK atau BPK itu sendiri. Karena sesunggunhnya tidak jelas siapa yang mengawasi pekerjaan mereka dan bagaimana pertanggungjawabannya. Mungkin sebaiknya dilakukan sistem pengawasan secara berputar, dimana masing-masing lembaga saling mengkoreksi satu sama lain atau cara lain yang dapat mengendalikan kekuasaan mereka, dalam hal ini makhsudnya agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dimiliki.